Friday, January 14, 2011

Bab 2 - part 1

Alice dan Sharon memberikan koper mereka pada guru pembimbing mereka agar bisa dimasukan ke dalam bagasi pesawat. Mereka lalu berjalan-jalan di dalam Changi airport. Changi airport adalah airport terbaik di Asia tenggara, sekaligus sala satu airport terbaik dunia. Sharon mengajak Alice untuk menemaninya membeli parfum. Awalnya ia malas, tapi daripada ia menunggu sendirian, lebih baik ia ikut saja dengan Sharon. Sharon masuk ke sebuah toko parfum. Disitu terdapat parfum-parfum dari berbagai brand ternama.
Sharon sibuk melihat-lihat sedangkan Alice sibuk memainkan handphonenya. Tanpa sengaja ia menabrak seorang wanita yang sedang melihat-lihat.
“Sorry, miss.”
“No problem.” 
Wanita itu menahan tawanya. Alice melihat ke cermin. Tidak ada yang salah dengan dirinya, lalu mengapa wanita itu tertawa.
“Ehm..Why are you laughing?”
“I’m not a miss anymore, I’m married.
“I’m sorry. I don’t know, really. I think you haven't married because you still look young and beautiful.
“No it’s not your fault, young lady. For me it's a compliment. Thanks.”
Wanita itu berlalu dari hadapan Alice. Wanita itu kelihatan masih muda. Seandainya ia punya anak, Alice yakin anak wanita itu pasti masih kecil tak mungkin seumurannya. Ia lalu berjalan ke arah Sharon yang sedang membayar di kasir.

***

Ellen berjalan ke ruang tunggu di airport. Anak-anaknya sedang memainkan komputer yang disediakan pihak airport. Suaminya masih saja sibuk dengan urusan kantornya. Ia ingat terakhir kali suaminya bersikap hangat kepadanya adalah saat ia mengandung Romeo. Setelah itu suaminya kembali bersikap dingin kepadanya. Entah mengapa dulu ia bisa jatuh cinta pada pria seperti itu, padahal jelas-jelas suaminya itu tidak mencintainya melaikan wanita lain yang dulu meninggalkannya karena dijodohkan. Ellen menghampiri suaminya itu dan memulai pembicaraan. Ia berharap suaminya itu akan menanggapinya dengan baik.
“Pa, sibuk gag?”
“Gag, len. Ada apa?”
“Aku mau tanya soal rumah baru kita di Jakarta. Kita tinggal di daerah mana, pa?”
“Di daerah Jakarta Utara, kenapa memangnya?”
“Nanti aku mau main ke rumah mama-ku. Boleh kan?”
“Buat apa?”
“Loh, memangnya gag boleh seorang anak mengunjungi ibunya sendiri?”
“Kamu lupa terakhir kali kita kesana, kamu diusir, dihina, bahkan dicacimaki sama dia? Wanita sombong itu mana mau menerima kamu di rumahnya.”
“Tapi itu kan kejadian enam belas tahun lalu, pa. mungkin saja mama sudah berubah.”
“Ya tersersah kamu lah.” 
Robby diam. Ia tidak mau tau lagi soal mertuanya itu. Ia yang menikahi anaknya hanya karena kasihan jadi bahan hinaan mertuanya karena tidak punya apa-apa saat itu. Ia pun bekerja keras untuk membuktikan kalau ia mampu menghidupi keluarganya sampai akhirnya ia bisa hidup layak seperti sekarang. Alvin berjalan ke arah mereka berdua.

“Pa, ma, aku jalan-jalan sebentar ya.” Ia pun berjalan keluar dari ruang tunggu itu.

***

Seperti biasa, Sharon sibuk merapikan dandanannya di depan cermin toilet wanita itu. Alice mendengarkan lagu lewat headset. Ia bosan menunggu Sharon yang masih asik dengan peralatan make-up nya. Ia lalu keluar duluan dari toilet. Tiba-tiba ada yang menutup matanya dari belakang. Ia mencoba menyingkarkan tangan itu. Ia lalu menyikut orang di belakangnya itu hingga kesakitan, kemudian berbalik.
“Auuh.."
“Alvin?”
 Tanpa sadar ia langsung memeluk Alvin yang sedang kesakitan. Alvin hanya tersenyum. Ia senang bisa bertemu Alice lagi . Tapi belum sempat ia membalas pelukan itu, Alice tiba-tiba menyadari kalau mereka ada di tempat umum. Ia lalu melepaskan pelukannya.
“Sorry. Tadi aku pikir siapa. Jadi aku sikut deh.”
“Makanya jangan asal sikut lagi, sakit tau.”
“Maaf banget ya, vin. Ehm.. Aku balik dulu ya.”
Alice berjalan ke ruang tunggunya. Alvin bingung kenapa Alice tiba-tiba berubah seperti itu. Apa karena perkataannya? Ia lalu berlari dan menggenggam tangan Alice.

“Kamu kenapa? Kok tiba-tiba jadi diam kayak gini?”
“Aku malu.”
“Malu kenapa?”
“Habis tadi aku meluk kamu di depan umum. Padahal kan kamu bukan siapa-siapa aku.”
“Siapa bilang kamu bukan siapa-siapa aku? Untuk aku, kamu itu best friend aku. Artinya kamu gag nganggep aku best friend kamu ”
“Gag lah, you’re my best friend.”
“So my adorable best friend, let me take you to the waiting room.”
Alice menjulurkan tangannya. Alvin lalu menggenggam tangan Alice dengan lembut. Mereka berjalan masuk ke ruang tunggu. Ternyata ruang tunggu mereka sama. Mereka lalu duduk di sebuah bangku panjang. Romeo melihat mereka, lalu berlari ke arah kakaknya yang sedang mengobrol dengan perempuan yang tidak dikenalnya.
“Kakak Alvin.”
“Romeo, kok disini?”
“Ayo main!”
“Tunggu ya.” 
Romeo mengangguk. Vita datang. Ia mencoba membujuk Romeo untuk kembali ke tempat orangtua nya tapi Romeo tidak mau. Lalu Alvin menyuruh Vita untuk kembali karena Alvin yang akan menjaga Romeo.
“Adik kamu, Vin?”
“Iya. Namanya Romeo. Romeo, ini kakak Alice. Say hi dong.”
“Halo, kakak Alice.”
“Halo, Romeo. Ganteng deh.”
Romeo tersenyum malu. Romeo kelihatan senang bermain dengan Alice. Alvin senang. Alice memang berbeda dengan cewek-cewek lainya. Romeo jarang bisa dekat dengan teman-teman ceweknya di California. Mereka memang tidak begitu menyukai anak kecil, berbeda dengan Alice. Jauh berbeda. Alice memang gadis yang baik.
“Kakak Alvin kok bengong”
“Gag bengong kok. Kakak Cuma senang aja ngeliat Romeo main sama kakak Alice.”
 Alice mengelus kepala Romeo. Lalu mereka mendengar pengumuman kalau pesawat yang akan ditumpangi Alice akan segera berangkat.
“Romeo ganteng, kakak Alice pergi dulu ya, pesawatnya sudah mau berangkat soalnya. Vin, aku jalan dulu ya. Nih nomor telfon ku. Nanti kabarin ya kalau sudah di Jakarta.”
“Okey-dokey.”
Alvin dan Romeo melambaikan tangan mereka ke arah Alice. Alice lalu bergabung dengan rombongannya dan masuk ke pesawat.

***

Setengah jam berlalu setelah Alice pergi. Alvin dan keluarganya pun masuk ke pesawat yang akan mereka tumpangi. Sejak tadi Romeo selalu bertanya tentang Alice. Ia menanyakan apakah Alice pacar Alvin? Apakah Alvin menyukai Alice? Apakah Alvin akan bertemu lagi nanti dengan Alice? dan banyak lagi. Setelah lelah bertanya, Romeo mengarahkan matanya ke jendela untuk melihat awan-awan yang menghiasi jendela pesawat. Alvin tertidur di bangku pesawat. Ia lalu terbangun setelah satu jam tidur karena Pesawat akan segera mendarat.
Setelah pesawat mendarat, Ia membantu orangtuanya mengambil koper-koper mereka. Barang-barang mereka dari rumah di California sudah dikirim ke rumah baru mereka terlebih dahulu. Setelah mengambil semua koper, Robby menelfon supirnya, Aryo untuk menjemput mereka di lobi bandara Soekarno-Hatta. Aryo langsung menghidupkan mesin mobil Alphard itu dan menjemput keluarga majikannya di lobi bandara. Ia belum pernah bertemu keluarga tuannya sebelumnya. Ia penasaran apakah anak-anak dan istri tuannya itu sama dingin dan galaknya dengan tuannya itu. Tak lama kemudian ia tiba di depan tempat tuannya menunggu. Ia keluar dari mobil dan membantu tuannya memasukan kopernya ke bagasi mobil. Ternyata anak-anak tuannya sangat ramah. Nyonyannya juga. Ia lalu membukakan pintu mobil untuk majikan barunya.
“Sudah lama nunggu, Yo?”
“Lumayan, Pak.”
“Oh ya, kenalkan ini istri saya, Ellen. Anak saya yang besar, Alvin dan yang kecil, Romeo. Nanti rekan kerja kamu di rumah adalah babysitternya Romeo, Vita dan pembantu yang sudah saya pesan dari agen minggu lalu. Apa dia sudah datang?”
“Kemarin sudah datang, Pak..”
“Oh. Baguslah kalau begitu.”
“Sekarang tujuan kita kemana, Pak? Mau makan dulu atu langsung pulang?”
“Langsung pulang saja.”
“Baik, Pak.”
Alvin yang duduk sendirian di kursi barisan belakang, sibuk mendengarkan musik. Ia tidak sabar untuk mulai beraktivitas di Jakarta. Ia meminta Aryo untuk berhenti di sebuah toko pulsa untuk membeli kartu perdana.
***
Alice masuk ke dalam rumahnya. Rumah yang terletak di kawasan elit Jakarta itu terlihat sepi. Yang tinggal di rumah itu bukan hanya Alice, kakak laki-lakinya, dan orangtuanya saja, tapi ada tiga orang pembantu, dua orang supir, dan dua orang satpam juga. Tapi tetap saja rumah itu sepi.
Orangtuanya jarang pulang ke rumah itu. Mereka biasa menginap di kantor mereka masing-masing. Alena, kakak perempuan Alice sudah menikah dan pindah ke New York mengikuti suaminya. Alden yang sibuk dengan tim basketnya, sering pulang malam. Karena itu, jika kesepian di rumah, Alice biasa mengobrol bersama para pembantu. Namun ia paling dekat dengan mbok Iyem atau yang biasa ia panggil mbok Yem. Wanita setengah baya itu sudah bekerja di rumahnya sejak ia berumur tiga tahun.
Alice menaiki anak tangga rumahnya. Orang tuanya sepertinya tidak ada di rumah. Ia melewati lorong menuju kamarnya. Dari kamar Alden terdengar bunyi petikan gitar dan suara seorang wanita menyanyi. Itu pasti Meilisa. Pacar baru Alden yang bergabung dalam kelompok paduan suara di sekolahnya. Suaranya memang indah, tapi ia tidak pernah berani menunjukannya di depan banyak orang. Alice melanjutkan perjalanannya menuju kamarnya. Ia membuka pintu kamar yang bertuliskan namanya dan masuk ke dalam. Alice menaruh kopernya di samping lemari pakaiannya dan berbaring di tempat tidurnya. Mbok Yem sepertinya sudah merapikan kamarnya, karena kamar itu sekarang sudah lebih rapih di bandingkan ketika ia tinggalkan. Alice melihat handphonenya. Ada sms yang masuk. Ia membaca sms itu.

Hi, aku sudah di Jakarta. Besok kita ketemuan di café Dailycious yang pernah kamu ceritain ke aku. Jam 4 sore. Jangan telat !

Alvin

Alice melompat kegirangan. Ia sendiri bingung mengapa ia begitu senang mendapat sms dari Alvin, tapi apapun alasannya ia tau kalau ia akan segera bertemu dengan Alvin.

***
Alvin tiba di rumah barunya. Ia masuk ke dalam rumah itu, membawa koper-koper berisi barang-barang yang dibawanya dari California. Ayahnya menunjukan kamarnya. Kamar bernuansa biru itu dua kali lebih besar dari kamarnya di California dulu. Kamar itu juga dilengkapi dengan kamar mandi di dalamnya. Jendela kamar itu ia menghadap ke arah kolam berenang. Benar-benar kamar yang ia inginkan.
Ia lalu keluar dari kamar itu untuk melihat kamar lain nya. Pertama-tama ia melihat kamar Romeo. Kamar Romeo bernuansa hijau dan terdapat walpaper pembatas bergambar beruang. Romeo sibuk memainkan mainan baru yang ia dapatkan. Alvin lalu keluar dan berjalan ke arah kamar orangtuanya. Tapi sebelum sampai ke kamar orangtuanya, ia melihat sebuah piano. Ia lalu berhenti dan mencoba memainkan piano itu. Alvin memang bisa bermain piano, tapi ia tidak sepintar ibunya. Ibunya dulu adalah seorang pianis berbakat yang meninggalkan karirnya itu demi suaminya. Ia lalu melanjutkan perjalanannya ke kamar ibunya.
Di dalam kamar, Ellen sedang sibuk memasukan baju-bajunya kedalam lemari pakaian barunya. Ia menata gaun-gaunnya di dalam lemari itu. Ia ingat terkhir kali mengenakan gaun-gaun itu adalah ketika ia masih belum menikah dengan suaminya. Gaun-gaun itu hanyalah koleksinya karena kini baju-baju itu sudah tidak muat lagi untuknya. Badannya sudah tidak selangsing dulu. Meskipun begitu, kalau dibandingkan dengan teman-teman sebayanya, tak ada yang penampilannya masih sebagus dia. Karena meskipun berstatus ibu rumah tangga, Ellen masih sering memperhatikan fashion yang sedang in dan pergi ke gym untuk melatih tubuhnya. Sayang ia tak punya anak perempuan, jika punya maka akan ia berikan semua koleksi gaun-gaun indah itu. Ia lalu tersadar dari lamunannya ketika Alvin masuk ke kamar itu.
“Mama.”
“Kenapa, sayang?”
“Gag apa-apa. Aku cuma liat-liat kamar di rumah ini. Oh ya ma, gimana sama sekolahku?”
“Terserah kamu saja. Kamu maunya dimana?”
“Di sekolah SMA Prestasi Bangsa.”
Ellen terdiam. Ia mengingat akan janjinya dengan sahabatnya sewaktu SMA, Karina. Ia dan Karina berjanji untuk menyekolahkan anak mereka di sekolah itu. Sekolah tempat mereka pertama kali bertemu. Sebenarnya mereka bermaksud untuk menjodohkan anak mereka. Tapi ia tidak yakin kalau Karina akan menepati janjinya itu. Karena terakhir bertemu, Karina mengatakan kalau suaminya akan dipindah kerjakan ke Singapura.
“Kamu tau dari mana tentang sekolah itu?”
“Aku punya teman disana.”
“Teman yang mana?”
“Yang kemarin bertemu di Singapura. Jadi, mama setuju gag?”
“Mama akan bahas dulu dengan papa. Nanti malam mama akan kasih tau keputusannya.”
Ellen kembali menyibukan dirinya dengan menyusun pakaian-pakaiannya yang lain. Alvin lalu keluar dari kamar itu

No comments:

Post a Comment